Antara Takwa dan Rizki

KHUTBAH PERTAMA:

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.

“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

Jama’ah Jum’at rahimakumullah…

Mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.

Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…

Kelancaran rizki dan keberkahannya, tentu merupakan dambaan setiap insan di muka bumi ini. Tidak ada bedanya dalam hal ini, antara tua dan muda, pria dan wanita, muslim dan non muslim, ahli ibadah maupun ahli maksiat, pejabat dan rakyat, semuanya menginginkan rizki yang lancar.

Petani menghendaki hasil panenannya melimpah. Pedagang menginginkan keuntungan yang berlipat ganda. Pegawai, karyawan dan buruh menghendaki gaji yang tinggi. Peternak menginginkan hasil ternak yang sehat dan gemuk. Begitu seterusnya, masing-masing orang, sesuai dengan profesinya, berharap rizki yang banyak.

Demi mendapatkan dambaan tersebut, setiap manusia berusaha dengan maksimal menempuh berbagai cara serta mengerahkan beragam daya dan upaya.

Agar panenannya berhasil, para petani akan membajak sawahnya dan mengairinya. Memilih bibit yang unggul, menyiangi rumput-rumput, serta menjaganya siang dan malam, saat padi mulai menguning. Begitu pula para pedagang, supaya laris dagangannya, mereka akan berusaha melengkapi barang-barang tokonya, mempromosikannya dengan gencar, juga memasang harga yang bersaing. Setali tiga uang, profesi-profesi lainnya pun melakukan hal serupa. Pegawai, karyawan, guru, kontraktor, buruh pabrik dan lain-lain. Semuanya memaksimalkan usaha lahiriahnya, demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Namun, setelah segala daya dan upaya dikerahkan, apakah bisa dipastikan bahwa angan-angan indah itu pasti berhasil dicapai? Jawabannya: belum tentu! Terkadang berhasil dan terkadang tidak. Kadangkala petani mengalami gagal panen, pedagang bangkrut dan karyawan pun di PHK.

Mengapa kegagalan itu tetap ada, padahal usaha lahiriah sudah maksimal dikerjakan dan perhitungan manusiawi sudah matang dilakukan? Jawabannya adalah karena ada ‘faktor X’ yang justru kerap dilupakan oleh banyak orang.

Para hadirin dan hadirat rahimakumullah..

Apakah faktor X tersebut? Faktor yang justru sering dilupakan adalah ketentuan dari Sang Pemberi Rizki dan Penguasa mutlak alam semesta ini; Allah tabaraka wa ta’ala. Sebesar dan semaksimal apapun usaha manusiawi yang kita kerahkan, namun jika Allah tidak berkehendak, maka mustahil keinginan kita akan tercapai.

“وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ”

Artinya: “Kalian tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikendaki Allah, Rabb seluruh alam”. QS. At-Takwîr (81): 29.

Allah jalla wa ‘azza lah yang menentukan segala sesuatunya. Apakah itu keberhasilan atau kegagalan. Entah rizki yang lancar maupun rizki yang seret. Semuanya di tangan Allah subhanah. Kita hanya bisa berusaha lahiriah secara maksimal, adapun mengenai hasil akhirnya, itu hanyalah Allah yang bisa menentukannya.

Maka dari itu, selain usaha fisik yang dilakukan, kita juga harus berusaha bagaimana supaya Allah berkenan menentukan yang terbaik untuk kita. Satu-satunya jalan yang mengantarkan kita ke sana adalah dengan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Sang Khaliq tabaraka wa ta’ala. Semakin kita patuh kepada-Nya, maka curahan kasih sayang-Nya kepada kita pun akan semakin besar. Allah ta’ala berfirman,

“وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “.

Artinya: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. QS. Ath-Thalaq (65): 2-3.

Dalam ayat-ayat di atas, Allah ta’ala menyebutkan berbagai buah manis ketakwaan. Yang di antaranya adalah: kelancaran rizki, juga terpenuhinya segala hajat. Ini baru keuntungan takwa yang bersifat duniawi. Kelak masih ada keuntungan lain yang jauh lebih besar, yakni meraih surga Allah di akhirat nanti. Negeri keabadian yang dipenuhi kenikmatan tiada tara. Cita-cita utama setiap hamba yang bertakwa.

Jama’ah shalat Jum’at yang kami hormati…

Secara garis besar, ketakwaan itu terbagi dua. Pertama: yang hubungannya dengan Allah ta’ala. Kedua: yang hubungannya dengan sesama manusia.

Adapun yang hubungannya dengan Allah adalah semisal tauhid, shalat, puasa, zakat dan haji bagi mereka yang mampu, serta ibadah-ibadah lain yang serupa.

Manakala seorang hamba patuh kepada Allah, dengan menjalankan shalat lima waktu secara benar, berpuasa di bulan Ramadhan dengan baik, serta tidak lupa untuk mengeluarkan kewajiban zakat hartanya; maka Allah pun akan membalasnya di dunia ini dengan curahan nikmat dari-Nya. Serta pahala yang berlipat ganda kelak di surga.

Sebaliknya, bila seorang insan enggan menunaikan shalat lima waktu dan sering bolong-bolong. Atau shalat hanya seminggu sekali di hari Jum’at saja, atau bahkan hanya setahun dua kali, di hari raya Idhul Adha dan Idhul Fitri. Di siang hari bulan suci Ramadhan tidak merasa malu untuk makan dan minum di pinggir jalan. Zakat juga tidak pernah terpikirkan. Masih pula ditambah dengan segudang maksiat; berjudi, berzina dan mabuk-mabukan. Diperparah lagi dengan praktek kehidupan yang kental dengan mistik dan klenik. Jika kondisi seorang hamba sudah mengenaskan seperti ini, maka bersiaplah menghadapi rizki yang seret, urusan yang macet, serta situasi rumah tangga yang bundhet.[1]

Para makhluk Allah pun akan dikerahkan-Nya untuk memberi peringatan. Air hujan akan tumpah ruah tanpa henti sehingga menimbulkan banjir bandang. Gunung berapi bergejolak sehingga memuntahkan abu panas dan lahar yang mendidih. Bumi bergoyang menimbulkan gempa yang meluluhlantakkan segala yang ada di atasnya. Tidak ketinggalan makhluk-makhluk kecil, semisal belalang, wereng dan tikus pun dikirim untuk merusak sawah-sawah. Ketahuilah bahwa mereka hanyalah makhluk-makhluk Allah yang menjalankan perintah Sang Khalik, tidak lebih dan tidak kurang!

Berbagai kesulitan ini belumlah seberapa, sebab masih ada malapetaka besar lain yang maha dahsyat yang menanti kelak di akhirat. Yakni kobaran api neraka yang panasnya menembus sampai ke dalam hati yang paling dalam.

Kaum muslimin dan muslimat yang semoga senantiasa dirahmati Allah…

Barusan tadi adalah keterangan tentang jenis pertama dari ketakwaan, yakni yang berhubungan dengan Allah ta’ala. Adapun jenis kedua adalah ketakwaan yang hubungannya dengan para manusia.

Diawali dengan kebaktian terhadap kedua orang tua, lalu berlanjut kepada perbuatan baik terhadap orang-orang terdekat, semisal suami, istri, anak, kakak, adik dan karib kerabat lainnya. Juga berperilaku simpatik kepada tetangga, teman kerja dan seluruh kaum muslimin, serta umat manusia secara umum, sesuai dengan aturan yang digariskan agama.

Andaikan seorang hamba menjalankan berbagai jenis ketaatan di atas dengan benar, niscaya dengan izin Allah ta’ala rizkinya akan mengalir deras. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,

“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.

“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.

Namun sebaliknya, bila hal itu diabaikan, maka akan berdampak buruk bagi kelancaran rizki kita. Orang-orang yang durhaka kepada orang tuanya. Suami yang menterlantarkan keluarganya. Ibu yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya. Orang yang sering menyakiti tetangganya. Orang yang gemar berhutang namun enggan untuk membayarnya. Orang yang suka menyerobot jatah kaum miskin, dengan mengambil jatah raskin, BLT atau BLSM, padahal ia hidup berkecukupan. Pedagang yang curang dalam berinteraksi dengan pembelinya. Mereka semua adalah orang-orang yang terancam akan seret rizkinya dan lenyap keberkahan hartanya. Dan kelak akan menjumpai kesengsaraan besar di neraka jahannam. Na’dzubillah min dzalik…

“وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ . الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ . وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ . أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ . لِيَوْمٍ عَظِيمٍ . يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ”.

Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahea sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?”. QS. Al-Muthaffifin (83): 1-6.

Para hadirin dan hadirat yang kami hormati…

Jika memang ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla adalah salah satu sebab utama penyebab lancarnya rizki, lantas mengapa ada para manusia di dunia ini yang tidak bertakwa, namun rizkinya melimpah? Demikian pertanyaan yang sering terlintas di benak sebagian orang, manakala melihat kenyataan yang ada.

Sekurang-kurangnya ada dua jawaban yang bisa dikemukakan:

Pertama: limpahan harta bagi orang-orang yang bergelimang maksiat adalah merupakan sesuatu yang diistilahkan dengan istidrâj. Yakni kenikmatan yang dicurahkan di dunia, untuk melalaikan dia, sehingga kelak di hari akhir akan mendapatkan siksa yang tak terperikan. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan dalam HR. Ahmad dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany,

“إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ” ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ، حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ}”.

“Bila engkau melihat Allah mencurahkan harta dunia yang diinginkan seorang hamba, padahal ia gemar bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu merupakan istidraj”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihiwasallam membaca firman Allah (yang artinya): “Ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. QS. Al-An’am (6): 44”.

Jawaban kedua: rizki yang banyak tidak selalu mendatangkan keberkahan. Betapa banyak orang yang bergelimang harta dunia, namun hati mereka tidak pernah merasa tenang. Rumah tangganya berantakan. Dan anak-anaknya amat sulit diatur. Itu semua merupakan sinyal ketidakberkahan rizki seorang hamba. Maka waspadalah!

أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولجميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

 

KHUTBAH KEDUA:

الْحَمْدُ للهِ “غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ”، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ لاَ نِدَّ لَهُ سُبْحَانَهُ وَلاَ شَبِيْهَ وَلاَ مَثِيْلَ وَلاَ نَظِيْرَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ الْمُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَكُلِّ تَابِعٍ مُسْتَنِيْرٍ.

Sidang Jum’at yang kami hormati…

Khutbah pertama tadi memuat penjelasan tentang salah satu kunci utama rizki, yakni ketakwaan kepada Allah ta’ala. Namun penting untuk ditekankan di khutbah kedua ini, bahwa dalam beribadah, seorang hamba tetap menjadikan niat utamanya adalah mencari ridha Allah ta’ala, bukan yang lainnya.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء”

Artinya: “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam agama yang lurus “. QS. Al-Bayyinah (98): 5.

Adapun keuntungan duniawi adalah tujuan sekunder dari ketakwaan bukan tujuan primer. Rasulullah shallallahu’alaihiwa sallam menerangkan,

“مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ؛ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ. وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ؛ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ”.

“Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah akan menjadikan kekayaan berada di dalam hatinya, akan dilancarkan urusannya serta dunia akan datang dengan sendirinya. Sebaliknya barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinan selalu berada di depan kedua matanya, urusannya akan berantakan dan dunia tidak akan datang padanya keculai apa yang telah ditentukan untuknya saja”. HR. Tirmidzy dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Albany.

هذا؛ وصلوا وسلموا –رحكم الله– على الصادق الأمين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.

ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين

ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Syawal 1434 / 30 Agustus 2013

 


[1] Kusut (jw).

Leave a Comment