Hikmah Ramadhan Bagi Para Aparat Negara

Alhamdulillahi wahdah, wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah.

Amat beragam pandangan kaum muslimin dalam memetik hikmah datangnya bulan Ramadhan. Keberagaman itu bersumber dari perbedaan sudut pandang mereka, berwarna-warninya pendidikan mereka dan yang paling penting adalah berjenjangnya tingkat keimanan mereka.

Para penjual kelapa muda dadakan misalnya, memandang bahwa hikmahnya Ramadhan adalah: menambah penghasilan yang cukup lumayan untuk beli baju lebaran untuk anak dan istri.

Para pegawai, sebagian mereka memandang bahwa hikmahnya Ramadhan adalah: dikuranginya jam kantor, sehingga masuknya lebih siang dan pulangnya lebih gasik.

Anak-anak sekolah tidak jauh berbeda pandangannya dengan bapak-bapak dan ibu-ibu pegawai di atas.

Para penjahat, mungkin sebagian mereka memindahkan ‘jam kerjanya’ ke malam hari; karena di siang harinya tubuh mereka lemas akibat berpuasa, jika mereka berpuasa.

‘Hikmah-hikmah’ tersebut di atas hanyalah ‘hikmah’ duniawi. Namun orang yang beriman, tentunya tidak berpandangan dengan sudut pandang sempit dan naif seperti itu, sebab dia memiliki target utama yang jauh lebih mulia dari itu semua; ketentraman batin di dunia dan kehidupan abadi di surga.

Orang beriman menjadikan wahyu qur’ani dan hadits nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai landasan dia dalam memetik hikmah bulan Ramadhan. Yang itu secara gamblang disebutkan Allah ta’ala dalam suatu ayat yang telah dihapal redaksinya oleh kebanyakan kita, namun masih perlu untuk terus kita gali kandungannya. Yaitu firman Allah ta’ala,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian; agar kalian bertakwa”. QS. Al-Baqarah: 183.

Takwa didefinisikan oleh para ulama dengan: menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya.

Dalam poin-poin berikut, kami berusaha menarik benang merah antara takwa dengan hikmah Ramadhan bagi aparat negara dan pegawai pemerintah secara umum. Semoga tepat dan bermanfaat.

Poin pertama: Puasa dan Kaitannya dengan Keikhlasan dalam Menjalankan Tugas.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, Allah ta’ala berfirman,

“كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ”.

“Setiap amalan anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa, ia adalah milik-Ku, dan Akulah yang langsung akan mengganjarnya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Apa yang membedakan ibadah puasa dengan ibadah lainnya, sehingga mendapatkan keistimewaan, dikatakan bahwa ibadah tersebut adalah milik Allah?

Selain karena kemuliaannya dan kecintaan Allah padanya, juga dikarenakan keikhlasan seorang hamba yang begitu kentara dalam melaksanakannya. Sebab puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Dalam kesendirian dia tetap berpuasa, walau tidak dilihat manusia.

Jika seorang insan telah ikhlas dalam puasanya, maka buahnya dia akan terlatih untuk selalu ikhlas dalam setiap amal ibadahnya termasuk ketika ia menjalankan tugas.

Inilah bedanya orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman, dalam menjalankan tugas. Orang yang tidak beriman ketika menjalankan tugas, hanya kepentingan duniawi yang ia harapkan dari pekerjaannya, sehingga buah rasa lelah dia dalam menjalani tugasnya hanyalah gaji yang diperoleh setiap bulannya. Namun orang yang beriman, selain dia mengharapkan gaji, ia juga merindukan ganjaran berupa pahala surga Allah. Karena setiap langkah yang ia ayunkan dalam menjalankan tugas ia niatkan karena Allah.

Poin Kedua: Puasa dan hubungannya dengan tepat waktu dalam menjalankan tugas.

Sebagaimana ibadah lain dalam Islam, semisal shalat, zakat dan haji, puasa juga memiliki batas waktu pelaksanaan yang telah ditentukan dalam agama, tidak boleh mundur dan maju. Waktu puasa dimulai dengan terbitnya fajar dan ditutup dengan terbenamnya matahari. Andaikan ada orang yang ingin merubah batasan tadi, walaupun dengan niat supaya amalannya lebih banyak; jelas tidak dibenarkan.

Jika dicermati, hal itu mendidik kita untuk senantiasa tepat waktu dalam setiap perkara, termasuk perkara duniawi. Di antaranya dalam menjalankan tugas. Sehingga baik ada komandan maupun tidak, dilihat pimpinan ataupun tidak, jika telah saatnya masuk kerja, ia akan tetap waktu. Bukan seperti tindakan sebagian orang yang ketika masuk kerja penginnya masuk siang, giliran pulang penginnya duluan; selalu minta kortingan dalam jam kerja. Tapi giliran menerima gaji tidak mau dikorting! Halalkah kelebihan gaji yang ia terima? Tentunya tidak!

Allah ta’ala telah mencela orang-orang yang curang dalam timbangan; mereka minta haknya dipenuhi, namun giliran memberi hak orang lain, mereka berbuat curang!#

“وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ . الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ . وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ . أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ . لِيَوْمٍ عَظِيمٍ . يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ”.

Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahea sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?”. QS. Al-Muthaffifin: 1-6.

Poin Ketiga: Puasa dan Kaitannya dengan Usaha untuk Menghindarkan Diri dari Tindak Penyelewengan Tugas.

Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya,

“إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ”

“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu juga turut berpuasa”#.

Yang dimaksud dengan puasa lisan, mata dan pendengaran adalah tidak menggunakan organ tubuh tersebut untuk tindak maksiat.

Para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’, ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman; seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa”.

Seorang yang beriman juga senantiasa menjaga lisannya dari transaksi suap menyuap, bukan karena takut obrolan via hpnya dengan ‘konsumen’ disadap oleh KPK, namun karena dia terlatih untuk senantiasa merasa diawasi Allah yang ‘menyadap’ seluruh omongan para hamba-Nya dan akan menuntut pertanggungjawaban kelak di hari akhir.

Allah ta’ala mengingatkan,

“مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ”.

Artinya: “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)”. QS. Qaf: 18.

Ketika faktor pendorong seorang hamba untuk tidak menerima suap adalah rasa takut kepada Allah, diapun tidak akan berusaha mencari tempat-tempat sepi yang menurut prediksi dia tidak tersorot kamera CTTV, seperti kuburan misalnya. Sebab dia menyadari bahwa di manapun ia berada pasti Allah tetap melihatnya.

Sebagian ulama menafsirkan firman Allah,

“يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا”.

Artinya: “Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya”. QS. Az-Zalzalah 4.

Maksudnya adalah: kelak bumi akan bercerita kepada Allah apa saja yang dilakukan bani Adam di atas permukaannya.

Poin Keempat: Puasa dan Korelasinya dengan Meningkatkan Wawasan Ilmu Agama.

Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam memanfaatkan momentum Ramadhan sebagai masa untuk mengajarkan agama kepada para sahabatnya dan umatnya. Banyak sekali contohnya dalam lembaran sejarah kehidupan beliau.#

Maka kita pun tertuntut untuk meneladani beliau untuk mendalami ilmu agama, terutama di bulan suci ini.

Begitu pula para aparat keamanan juga tertuntut untuk mendalami ilmu agama, apalagi jika itu bersinggungan langsung dengan tugasnya dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Contoh mudahnya: fenomena yang sedang marak belakangan ini: fenomena terorisme.

Para pelaku pengeboman yang belakangan ini cukup marak di berbagai penjuru dunia termasuk di tanah air kita tercinta, dan banyak kaum muslimin yang menjadi korban tindak pengeboman tersebut. Apakah ketika mereka menjalankan tindak kriminal itu, mereka menganggapnya sebagai perbuatan suatu dosa, atau justru sebuah ibadah mulia yang diyakini akan mengantarkan pelakunya ke derajat paling tinggi di surga bersama para syuhada?

Mengapa mereka meyakini tindak kejahatan itu sebagai amal shalih? Apakah seluruhnya itu dilakukan tanpa adanya latar belakang ideologi tertentu?

Di antara ideologi rusak yang mendalangi tindak kejahatan di atas tidak lain adalah: “ideologi asal vonis kafir”! Dalang utama di balik kejahatan yang marak belakangan ini.

Tidak diragukan lagi bahwa takfîr (penjatuhan vonis kafir) merupakan istilah syar’i, namun amat disayangkan, tidak sedikit oknum yang memanfaatkannya untuk mewujudkan niat-niat buruk mereka. Maka kewajiban para ulama dan para da’i adalah menjelaskan istilah tersebut dengan gamblang, beserta kaidah-kaidahnya. Juga meluruskan ideologi yang keliru tentangnya.

Satu dari buah “ideologi asal vonis kafir”: merebaknya pemikiran yang mengatakan pemerintah Indonesia kafir, presidennya kafir, orang yang bekerja di instansi pemerintahan kafir dan penjatuhan vonis-vonis keji lainnya. Waspadalah, itu semua merupakan benih dari bom-bom yang meledak di mana-mana belakangan ini!#

Kita bukan sedang mengatakan bahwa orang-orang yang berada di pemerintahan adalah sosok yang maksum dan suci dari dosa, tidak! Namun apakah setiap orang yang terjerumus ke dalam perbuatan dosa berhak dijatuhi vonis kafir?

Rasulullah shallallallahu’alaihiwasallam menjelaskan bahaya menuduh kafir secara serampangan, dalam sabdanya,

“أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ”.

“Siapapun yang berkata kepada saudaranya, “Hai kafir”; niscaya vonis kafir itu akan menimpa salah satu dari keduanya andaikan vonis tersebut benar. Namun jika tidak maka vonis kafir tadi akan berbalik mengenai orang yang melontarkannya”. HR. Muslim.

Setali tiga uang dengan istilah takfîr, juga istilah jihad dan amar makruf nahi mungkar. Mereka yang melakukan tindak teror di mana-mana juga menamakan perbuatannya sebagai ‘jihad’.

Benarkah jihad seperti apa yang mereka gambarkan; menumpahkan darah orang tidak berdosa dari kalangan kaum muslimin, atau menjadikan orang non Islam sebagai target operasi tanpa pandang bulu; yang penting kafir maka harus dibunuh!

“Ah, mereka kan tidak sengaja membunuh sebagian kaum muslimin yang kebetulan saat itu berada di lokasi yang kami bom. Maaflah..” demikian dalih sebagian orang yang berusaha membela tindak kriminal tersebut.

Jawabnya, subhanallah seringan itu kah membunuh seorang muslim, dengan alasan ketidaksengajaan? Bukankah Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam pernah mengingatkan,

“لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ”.

“Hancurnya dunia lebih ringan di mata Allah daripada terbunuhnya seorang muslim”. HR. Tirmidzi dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani.

Adapun berkenaan dengan orang kafir, maka hukum mereka tidak satu. Karena orang kafir bermacam-macam; di antaranya ada kafir harbi adapula kafir dzimmi.

Kafir harbi: adalah orang kafir yang menyerukan peperangan terhadap kaum muslimin.

Kafir dzimmi: adalah ‘orang kafir’ yang memiliki perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin untuk tinggal di negeri kaum muslimin dengan aman.#

Berkenaan dengan kafir jenis kedua ini, Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan ‘kehormatan’ yang mereka miliki dalam sabdanya,

“مَنْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا”.

“Barang siapa membunuh seorang kafir dzimmi niscaya dia tidak akan mendapatkan harumnya surga. Padahal harumnya surga bisa tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun”. HR. Nasa’i dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani.

Jadi salah satu solusi memadamkan kobaran api terorisme adalah: menghadapi ideologi dengan ideologi. Dan ini menuntut kita untuk memperdalam ilmu agama.

Sebagaimana telah disinggung di depan, mereka yang melakukan tindak teror tadi menganggap perbuatannya benar, dikarenakan ideologi yang mereka yakini mengajarkan hal tersebut. Bisakah ideologi dipenjarakan? Menurut pandangan kami, yang bisa dipenjarakan adalah jasad seseorang bukan ideologinya. Atau dengan kata lain, bisa jadi seseorang secara lahiriah ketika di penjara menunjukkan keinsafannya dari pemikiran menyimpang tadi, namun pada hakikatnya, hati dia masih meyakini keabsahan ideologi tersebut. Sehingga ketika dia telah dibebaskan dari penjara, kembali bergabung dengan jaringan terorisme, bahkan mungkin menjadi lebih kuat dan piawai dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan padanya#.

Ada baiknya kita sedikit belajar dari negara lain dalam menangani fenomena terorisme ini, karena kenyataannya isu tersebut telah mendunia. Ambillah sebagai contoh, Arab Saudi misalnya.

Negara yang menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang resmi negara ini, juga tidak luput dari sasaran tembak para teroris. Bahkan tidak sedikit putra-putra kaum muslimin di berbagai belahan dunia –termasuk Indonesia– yang terinspirasi untuk menjalani tindak teror tadi, dari statemen atau langkah yang ditempuh sebagian tokoh di negeri petro minyak tadi, terutama yang telah dideportasi dari negeri tersebut, semisal Usamah bin Laden.

Selain, langkah represif yang diambil pemerintah Saudi dalam mengatasi terorisme, mereka juga membenahi ‘software’ para pelaku tindak teror tadi. Caranya dengan membentuk “tim khusus rehabilitasi pemikiran” yang dianggotai para ulama, tugasnya: mendatangi oknum-oknum yang terkontaminasi dengan pemikiran tersebut di sel-sel penjara, lalu mengajak mereka berdiskusi mengenai ideologi yang mereka anut. Syubhat (kerancuan berpikir dan berdalil) yang ada di otak mereka diluruskan. Galibnya anak-anak muda tadi berdalilkan dengan nas-nas dari al-Qur’an dan Hadits juga statemen sebagian ulama untuk menjustifikasi perbuatannya, namun “setelah dimanipulasi dan diselewengkan maknanya, atau mereka letakkan tidak pada tempatnya”#.

Hasilnya? Tidak sedikit di antara mereka mengunduh kepuasan batin akan kesesatan ideologi yang pernah ia anut. Sehingga ketika ia keluar penjara, ia keluar membawa otak yang bersih dari virus-virus pemikiran tersebut. Sebagaimana dituturkan salah seorang anggota tim khusus tadi kepada kami, yang kebetulan dia adalah dosen kami di kampus Islamic University Madinah.

Jika pemerintah kita berniat untuk mengikuti jejak tersebut, tentunya dituntut untuk memilih orang-orang yang berakidah lurus, berkompeten dalam ilmu syar’i, juga yang tidak kalah pentingnya harus pintar beradu argumentasi serta menguasai seluk beluk syubhat-syubhat ideologi itu.

Namun meskipun demikian, seyogyanya aparat keamanan tidak hanya bergantung dengan para ulama. Hendaknya mereka juga berusaha meluangkan waktu untuk menambah wawasan keagamaan yang bersinggungan langsung dengan terorisme. Seperti yang berkenaan dengan istilah takfir, jihad dan sekte-sekte sempalan dalam Islam.

Sehingga mereka terhindar dari tindak memvonis, menuduh atau mencurigai hanya berdasarkan penampilan lahiriah saja.

Layar kaca dan media massa belakangan ini betul-betul berlomba menjadikan isu terorisme sebagai menu utama pembahasan mereka. Sehingga tidak heran jika foto para pelaku tindak teror dan keluarga mereka kerap menghiasi media-media tadi, bak ‘selebritis’. Dengan sering menampilkan sosok lahiriah para pelaku peledakan atau yang diyakini terlibat, yang rata-rata memiliki ciri khas penampilan yang cenderung seragam –berjenggot, celana di atas mata kaki dan istri bercadar– secara perlahan terbentuklah opini di benak masyarakat awam, bahwa setiap setiap yang berpenampilan serupa adalah teroris atau minimal terlibat dalam jaringan terorisme. Barangkali kita bisa sedikit memaklumi fenomena itu, karena rendahnya tingkat pendidikan di sebagian komunitas. Padahal, jika tuduhan-tuduhan yang terlontar itu hanya dilandaskan dengan penampilan lahiriah, niscaya para preman atau beberapa personil grup penyanyi rock tentunya juga berpeluang untuk dituduh teroris, karena tidak sedikit di antara mereka yang memelihara jenggot. Atau para ABG juga berpeluang untuk dituduh teroris; karena banyak di antara mereka yang celananya cingkrang; celana tiga perempat atau celana gaul.

Maka, pihak-pihak yang berpendidikan, terutama para aparat yang berwenang, hendaknya tidak terbawa arus opini tersebut. Karena amanat tugas yang ada di pundak mereka, menuntut untuk bersikap lebih arif, bijak dan tidak sembrono dalam bersikap, berkata maupun mengambil tindakan. Jika tidak, maka segudang ekses negatiflah yang menanti.

Mereka tertuntut untuk berklarifikasi tatkala menerima berita, meneliti lebih dalam laporan yang sampai ke meja, menyelidiki dengan seksama benarkah orang-orang yang kebetulan berpenampilan sama dengan para teroris tersebut, memang menganut ideologi menyimpang tadi, atau justru sebaliknya; mereka berada di barisan terdepan dalam memerangi pemikiran sesat tersebut? Sehingga kita tidak terjerumus ke dalam tindak melontarkan fitnah kepada sesama muslim yang tidak berdosa.

Allah ta’ala berfirman,

“وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ”.

Artinya: “Dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. QS. Al-Baqarah: 191.

Di antara referensi yang cukup bagus untuk menambah wawasan dalam hal itu: “Penjatuhan Vonis Kafir dan Aturannya”, karya Prof. Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily, ”Antara Jihad dan Terorisme” karya Ust. Dzulqarnain Sunusi dan “Mereka Adalah Teroris”, karya Ust. Luqman bin Muhammad Ba’abduh.

Semoga kita senantiasa berhasil memetik hikmah mulia dari bulan Ramadhan ini sebanyak-banyaknya.

Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.

Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA

✍ Pesantren ”Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Ramadhan 1430 / 11 September 2009

Leave a Comment