KEZALIMAN ADALAH KEGELAPAN

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

Khutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 6 Rabi’uts Tsani 1435 / 7 Februari 2014

KHUTBAH PERTAMA:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي حَرَّمَ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِهِ وَحَعَلَهُ بَيْنَ عِبَادِهِ مُحَرَّماً، وَجَعَلَ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ دَمَاراً عَلَى أَهْلِهِ وَهَلاَكاُ وَمَأْثَماً، فَتِلْكُ بُيُوْتُهُمْ خَاوِية بِمَا ظَلَمُوْا فَبِئْسَ الْمَصِيْرُ لِمَنْ بَغَى، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً نَرْجُوْ بِهَا عَالِي الْجِنَانِ نُزُلاً، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ إِلَى كَافَّةِ الْقُرَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَقَامُوا الْعَدْلَ فِيْمَا وُلُّوْا عَلَيْهِ، فَأَكْرِمْ بِهِمْ أَوْلِيَاءَ!

أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ تَعَالَى وَاحْذَرُوْا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ، ظُلُمَاتٌ فِي الْقَلْبِ، وَظُلُمَاتٌ عَلَى الْوَجْهِ، وَظُلُمَاتٌ فِي الْقَبْرِ، وَظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Jama’ah Jum’at rahimakumullah…

Mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.

Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…

Panas yang maha dahsyat, ketakutan yang menghantui, kebingungan yang berlipat-lipat, dan ketidakpedulian manusia terhadap para kekasih terdekatnya, ini hanyalah sekelumit gambaran tentang mengerikannya keadaan di hari kiamat.

Dalam kondisi yang begitu menyeramkan, selain merasakan berbagai keadaan tersebut di atas, tidak sedikit para manusia yang harus terjebak di dalam kegelapan yang mencekam. Tidak mengetahui arah atau jalan yang seharusnya dititi.

Siapakah mereka yang begitu malang nasibnya? Mereka antara lain adalah: orang-orang yang gemar melakukan kezaliman. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”.

“Hati-hatilah dari perbuatan zalim. Sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan yang sangat gelap di hari kiamat”. HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu.

Sidang Jum’at yang berbahagia…

Dalam bahasa Arab, zalim bermakna meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.[1] Asal kata zalim adalah kejahatan dan perbuatan yang melampaui batas. Demikian keterangan yang dibawakan Imam Ibn al-Atsir dalam kitabnya an-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts.

Kezaliman itu amat beragam dan bertingkat-tingkat keparahannya. Kezaliman yang paling parah dan paling berat azabnya adalah perbuatan syirik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“إِنَّ ٱلشّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ”

Artinya: “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang berat”. QS. Luqman (31): 13.

Mengapa perbuatan mempersekutukan Allah dikategorikan termasuk kezaliman, bahkan merupakan kezaliman yang paling parah? Pertanyaan ini akan terjawab, bilamana kita kembalikan kepada definisi kezaliman. Yakni meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Pelaku kesyirikan sejatinya telah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya yang benar. Sebab ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah ta’ala. Sedangkan mereka justru mempersembahkannya kepada benda-benda mati atau para makhluk yang lemah.

Sangat naïf memang perbuatan mereka! Allah tabaraka wa ta’ala yang telah begitu banyak memberikan karunia nikmat kepada mereka, justru mereka balas dengan bersyukur kepada selain-Nya.

Allah yang telah mengaruniakan panen padi yang melimpah-ruah kepada mereka. Justru mereka berterimakasih kepada Dewi Sri, dengan memaparkan berbagai sesaji di pojok-pojok sawah.

Allah yang telah mengaruniakan hasil laut yang begitu beragam kepada mereka. Malah mereka berterima kasih kepada Nyi Roro Kidul dengan mempersembahkan kepala sapi yang dilarung dalam upacara yang begitu khidmatnya.

Allah yang telah mengaruniakan kesuksesan bisnis, kelulusan anak dan kemajuan perusahaan. Mereka justru melakukan safari berbagi nazar ke berbagai kuburan keramat.

Begitulah kezaliman yang paling zalim. Maka wajar, bila dosa ini tidak akan diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala bila seorang hamba meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya. Sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur’an,

“إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ، وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا”

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar”. QS. An-Nisa’ (4): 48.

Para hadirin dan hadirat rahimakumullah..

Jenis kezaliman kedua adalah: kezaliman seorang hamba terhadap dirinya sendiri. Yakni dengan melakukan berbagai perbuatan dosa dan maksiat, yang hanya merugikan dirinya sendiri.

Saat seorang berzina dan menenggak minuman keras, walaupun ia merasakan kenikmatan saat itu, sejatinya ia sedang menganiaya dan menyakiti dirinya sendiri. Sebab setelah kenikmatan sesaat itu, ia akan menuai kegelisahan, kegundahgulanaan dan ketergantungan akut terhadap perbuatan nista tersebut. Itu baru akibat yang akan dirasakannya di dunia. Belum lagi kehinaan dan azab yang tak terperikan kelak di alam kubur serta di neraka jahannam. Na’udzubillah min dzalik…

Barangsiapa yang terjerumus dalam perbuatan menganiaya diri sendiri, tetapi ia segera sadar lalu mengingat Allah dengan bertobat dan beramal salih; niscaya akan diampuni oleh Allah ta’ala Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

“وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ . أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ”.

Artinya: “Orang-orang yang apabila mengerjakan pekerjaan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa pula yang dapat mengampuni dosa-dosa selain dari Allah? Mereka juga tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal”. QS. Ali Imran (3): 135-136.

Jama’ah shalat Jum’at yang kami hormati…

Adapun jenis kezaliman yang ketiga, adalah bentuk perbuatan zalim yang sering diremehkan oleh banyak manusia, padahal resikonya amatlah berat. Kezaliman yang tidak akan pernah diabaikan oleh Allah tabaraka wa ta’ala. Dan tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa pembalasan.

Yakni kezaliman seorang hamba terhadap sesamanya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah jalla wa ‘ala mengingatkan,

“يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا”

“Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga mengharamkan kezaliman atas kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi!”. HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu.

Kezaliman jenis ini amat banyak potretnya dan bertebaran di mana-mana. Mulai dari lingkungan terdekat dengan kita, hingga yang berada di nun jauh sana. Pelakunya pun amat beragam, mulai dari orang cilik hingga para pembesar, mulai dari perampok hingga yang berpenampilan alim.

Para suami yang sewenang-wenang terhadap isterinya; memperlakukannya dengan kasar, menceraikannya tanpa sebab, menelantarkannya dengan tidak memberinya nafkah baik lahir maupun batin.

Orang tua yang mengabaikan putra-putrinya. Tidak memberikan perhatian yang layak terhadap pendidikan mereka. Membiarkan mereka meninggalkan shalat dan puasa. Bahkan memfasilitasi di dalam rumahnya berbagai sarana yang merusak kepribadian mereka.

Guru yang tidak memberikan perhatian yang proporsional terhadap anak didiknya. Targetnya hanyalah mengejar selesainya kurikulum, tanpa peduli dengan perilaku murid-muridnya. Masih ditambah pula sering menjatuhkan hukuman berlebihan dan kurang memperhatikan kaidah-kaidah yang benar di dalam penjatuhan sanksi.

Tetangga yang berbuat semaunya terhadap kanan dan kirinya. Membuat bising telinga dengan suara tape yang keras dan lagu-lagu yang menggila. Menguping rahasia rumah tangga orang lain dan usil membicarakan kejelekannya dari belakang. Mengadu domba antar tetangga dan yang juga banyak sekali terjadi adalah mencaplok tanah tetangga tanpa hak, berapapun ukurannya.

Penguasa yang lalim dan berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Seperti yang dialami saudara-saudara kita para penduduk negeri Suriah. Mereka telah terusir dari kampung halamannya sendiri. Di negeri orang mereka tercekam ketakutan, kelaparan, ketidaktentuan dan kedinginan yang luar biasa. Kaum muslimat dinodai kehormatannya. Dan jangan tanyakan mengenai korban yang terbunuh di sana. Tidak tanggung-tanggung 136 ribu nyawa manusia ‘tak berdosa’ melayang di negeri tersebut. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Kezaliman bukan hanya dilakukan oleh orang-orang fasik atau orang kafir, tapi juga amat disayangkan menjangkiti sebagian mereka yang terlihat berpenampilan alim dan berbusana islami.

Sebagian mereka begitu mudah memvonis sesat saudaranya. Melontarkan tuduhan dan fitnah, hanya berdasarkan berita burung yang tidak jelas kebenarannya. Menjauhkan ummat dari para dai penyeru kebaikan. Parahnya, semua itu dibungkus dengan label amar makruf dan nahi mungkar.

Sadarlah wahai saudaraku, bahwa setiap ucapan yang kita lontarkan, atau sms yang kita kirimkan, atau tulisan yang yang kita upload di jejaring sosial, semuanya ini akan kita pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah yang Maha adil!

“وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ، إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا”

Artinya: “Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya”. QS. Al-Isra’ (17): 36.

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم، ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولكافة المسلمين من كل ذنب، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

KHUTBAH KEDUA:

الْحَمْدُ للهِ “غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ”، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ لاَ نِدَّ لَهُ سُبْحَانَهُ وَلاَ شَبِيْهَ وَلاَ مَثِيْلَ وَلاَ نَظِيْرَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ الْمُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَكُلِّ تَابِعٍ مُسْتَنِيْرٍ.

Sidang Jum’at yang kami hormati…

Pelaku kezaliman cepat atau lambat pasti akan menuai akibat buruk dari perbuatannya. Bila belum ia rasakan di dunia, pasti dan pasti kelak akan ia akan merasakannya di akhirat. Maka, sebelum matahari terbit dari arah Barat, sebelum pintu taubat ditutup rapat dan sebelum ajal datang menjemput, sebelum terlambat; bertaubatlah kepada Allah! Mintalah maaf kepada orang-orang yang dizalimi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mewanti-wanti,

“مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ ، أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ؛ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ”

“Barang siapa yang menzalimi seseorang, baik itu dalam harga dirinya atau yang lainnya; hendaklah ia meminta maaf padanya hari ini juga. Sebelum datang hari di mana saat itu emas dan perak tidak lagi berguna”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Adapun mereka yang merasa enggan atau gengsi untuk meminta maaf kepada saudaranya, maka nantikanlah kebangkrutan total kelak di hari kiamat. Saat pahala mereka habis dilimpahkan kepada orang-orang yang dizaliminya, dan tumpukan dosa orang-orang yang dizaliminya akan dibebankan kepada mereka.

Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam bertutur,

« أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ». قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ ».

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut / jatuh pailit itu?”, para sahabat menjawab, “Orang yang pailit di antara kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang perniagaan…”. Maka Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia telah memaki orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, memukul orang lain. Maka diambillah pahala amalan-amalannya dan diberikan kepada ini dan kepada itu (orang lain yang dia dzalimi tersebut -pen), apabila amal kebaikannya sudah habis, sedangkan tanggungan dosanya belum juga tuntas, maka dosa-dosa mereka akan dicampakkan kepadanya, lalu ia dimasukkan ke dalam neraka”. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Untaian nasehat nabawi yang menjadi peringatan keras bagi para pelaku kezaliman, sekaligus hiburan yang menenangkan hati orang-orang yang dizalimi.

هذا؛ وصلوا وسلموا –رحمكم الله– على الصادق الأمين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.

ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين

ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Rabi’uts Tsani 1435 / 7 Februari 2014


[1] Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 537).

Leave a Comment