Serial Fiqih Pendidikan Anak No 138: MEWASPADAI UCAPAN ORANG TUA

Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 138 MEWASPADAI UCAPAN ORANG TUA

Muhammad bin Abdurrahman al-Auqash adalah seorang hakim agung legendaris kota Mekah. Puluhan tahun beliau menduduki jabatan tersebut. Sangat disegani. Padahal beliau memiliki kekurangan fisik. Terlahir dalam keadaan lehernya sangat pendek sampai masuk ke badannya. Sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Paras mukanya amat pas-pasan.

Namun saat ia masih kecil, dengan penuh perhatian dan kasih sayang, ibunya berpesan, “Nak, kelak engkau akan sering ditertawakan dan direndahkan. Maka berkonsentrasilah untuk belajar agama. Sungguh ilmu akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu.”

Beliau mematuhi pesan ibunya. Tekun belajar agama. Hingga suatu saat dipercaya menjadi hakim agung di Mekah selama dua puluh tahun. Setiap ada orang yang berperkara duduk di hadapannya, selalu gemetar dengan kewibawaannya, hingga sidang selesai.

Mulutmu Harimaumu

Orang tua teladan selalu memperhatikan setiap ucapannya. Berusaha mengeluarkan kata-kata positif dan menghindari komentar negatif.

Ucapan yang keluar dari mulut orang tua sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku anak hingga dia dewasa. Entah Anda sedang serius atau bercanda, perhatikan kata-kata Anda. Berlatihlah untuk selalu berbicara positif. Namun hindari pujian kosong yang memberikan kebanggaan semu.

Ungkapan berlebihan tidak diperlukan. Contohnya: sambil menimang anak, Anda menyebutnya, “Anak paling cantik, paling ganteng, paling pintar sedunia”. Gantilah dengan pengakuan bahwa “dia istimewa untuk Anda. Anugerah indah dari Allah. Anda sangat bersyukur memilikinya”.

Mohonlah dengan hormat agar kakek-neneknya juga memberikan sebutan yang pantas. Lebih baik memanggilnya dengan nama asli, ketimbang panggilan yang kelak membuatnya malu jika didengar teman-temannya.

Berhati-hatilah dalam berbicara. Terlebih setelah anak tumbuh besar. Anda akan terkejut saat menyadari bahwa ternyata anak banyak belajar dari apa yang dia dengar. Seringkali para ibu lupa diri ketika mereka saling bercerita tentang putra-putrinya. Keusilan dan kekurangan anak diceritakan sambil tertawa geli. Ucapan ceplas-ceplos yang terkadang tidak pantas pun dianggap lucu. Saat anak Anda mendengarnya, lalu menirukan ucapan tersebut, Anda marahi dia. Ini tentu bentuk inkonsistensi.

Berikan Penghargaan

Ketika Anda tahu bahwa anak mendengarkan secara diam-diam, gunakan momen itu untuk menyebutkan kelebihannya. Atau hal-hal positif yang telah dilakukannya. Namun jangan berlebihan. Sebab bisa membuat lawan bicara Anda menganggap Anda menyombongkan diri.

Misalnya, jika teman Anda menanyakan rapor anak, Anda bisa menjawab, “Alhamdulillah saya puas dengan peningkatan prestasinya. Saya tahu dia telah berusaha keras. Anak saya memang gigih”.

Itu jauh lebih baik ketimbang, “Rapornya bagus. Tapi sayang tidak masuk 10 besar”.

Ketika anak mendengarkan, Anda juga bisa mengeraskan doa Anda untuknya. Hal-hal positif yang Anda mintakan kepada Allah untuknya, insyaAllah akan menjadi energi pendorong baginya untuk berusaha mewujudkan apa yang Anda harapkan.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ.

“Tiga doa yang akan dikabulkan tidak ada keraguan sedikitpun. Doanya orangtua, doanya orang yang bepergian dan doanya orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan dinilai hasan oleh al-Albaniy.

 

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Muharram 1441 / 9 September 2019

Leave a Comment