Silsilah Fiqih Doa dan Dzikir No 143: MENDOAKAN SESAMA BUKTI KETULUSAN HATI

Mendoakan kebaikan untuk sesama muslim adalah amalan lisan. Namun ini menunjukkan ketulusan hati. Kepedulian, kasih sayang dan perhatian, seyogyanya diwujudkan antara lain dengan mendoakan orang lain. Memohon kepada Allah agar saudaranya dikaruniai hidayah serta kesuksesan dunia dan akhirat. Itulah sosok kepribadian muslim yang ideal. Selalu mengharapkan kebaikan untuk sesama. Jika belum bisa demikian, maka minimal ia tidak menyakiti mereka.

Dalam hadits sahih dijelaskan,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ»

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Muslim sejati adalah yang tidak mengganggu muslim lain dengan lisan dan tangannya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

«عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ»، فَقَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: «يَعْمَلُ بِيَدِهِ، فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ» قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: «يُعِينُ ذَا الحَاجَةِ المَلْهُوفَ» قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: «فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ، وَلْيُمْسِكْ عَنِ الشَّرِّ، فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ»

“Seyogyanya setiap muslim bersedekah”. Para sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, orang yang tidak punya sesuatu untuk bersedekah bagaimana?”. Beliau menjawab, “Hendaklah ia bekerja dengan tangannya. Sehingga memberi manfaat untuk dirinya sendiri lalu bisa bersedekah”. Mereka bertanya lagi, “Bagaimana bila tidak tersisa?”. Beliau menjawab, “Hendaklah ia menolong orang yang sedang sangat membutuhkan bantuan”. Mereka bertanya kembali, “Jika ia tidak mampu juga?”. Beliau menjawab, “Hendaklah ia berbuat kebaikan dan tidak mengganggu orang lain. Sungguh itu sudah terhitung sedekah”. HR. Bukhari dan Muslim.

Seorang muslim selalu menjaga lisannya. Tidak berucap kecuali yang baik-baik saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewanti-wanti,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الفَاحِشِ وَلاَ البَذِيءِ

“Mukmin itu bukan orang yang suka mencela, gemar melaknat, suka berbuat/ berkata keji dan berkata kotor/ jorok”. HR. Tirmidziy dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban juga al-Albaniy.

Lisan yang kotor adalah pertanda hati yang kotor. Apalagi bila yang ia cela adalah manusia-manusia mulia. Contohnya: para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Merendahkan mereka adalah indikator penyimpangan pemahaman pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti,

«لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ»

“Jangan kalian mencela seorangpun dari sahabatku. Bila kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, sungguh tidak akan menyamai pahala infak mereka yang hanya setelapak tangan atau separuhnya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Termasuk hal yang dilarang juga adalah mencela para ulama serta orang-orang salih.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 R. Awwal 1440 / 26 Nopember 2018

Leave a Comment