Tafsir Surat Al-Fatihah (05): Ayat Kedua (Bag. 3)

Pada momen apa sajakah kita diperintahkan untuk memuji Allah (mengucapkan hamdalah)? [Penulis menukil dan meringkas pembahasan ini dari buku Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr (I/237-242)]

Seperti biasanya, setelah kita berusaha memadukan pembahasan yang bersifat teoritis dengan pembahasan yang bersifat aplikatif, yakni bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebenarnya, seorang hamba tertuntut untuk senantiasa memuji Allah kapanpun juga; sebab ia selalu berada dalam nikmat Allah di seluruh waktunya, baik nikmat duniawi, maupun nikmat agama. Ditambah lagi, Rabb kita; Allah subhanahu wa ta’ala adalah dzat yang memiliki nama-nama indah dan sifat-sifat mulia, sehingga Dia berhak untuk mendapatkan pujian di setiap waktu.

Hanya saja, ada beberapa momen yang mendapatkan penekanan khusus, agar seorang hamba memuji Allah saat itu. Di antara momen tersebut:

1. Setelah makan dan minum.

Allah ta’ala berfirman,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah: 172).

Di antara bentuk syukur kepada Allah atas makanan yang dikaruniakan-Nya: memuji Allah ta’ala setelah makan, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا، أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا”.

“Sesungguhnya, Allah akan meridhai hamba-Nya jika selesai makan ia memuji-Nya, atau setelah minum ia memuji-Nya.” (H.R. Muslim dari Anas bin Malik).

Redaksi hamdalah atau pujian pada Allah setelah selesai makan ada beberapa macam. Antara lain:

  • Alhamdulillâhi hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîhi, ghaira makfiyyin, wa lâ muwadda’in, wa lâ mustaghnâ ‘anhu rabbunâ.

Dalilnya: hadits yang disampaikan Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْداً كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، غَيْرَ مَكْفِيٍّ، وَلَا مُوَدَّعٍ، وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبُّنَا”.

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai mengangkat hidangan, beliau membaca, ‘Alhamdulillâhi hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîhi, ghaira makfiyyin, wa lâ muwadda’in, wa lâ mustaghnâ ‘anhu rabbunâ (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi, yang tidak tertolak, tidak ditinggalkan dan tidak dibuang (bahkan dibutuhkan). (Dialah) Rabb kami).’(H.R. Bukhari).

  • Alhamdulillâhilladzî ath’amanî hâdzâ wa razaqanîhi min ghairi haulin minnî wa lâ quwwatin.

Dalilnya: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ”؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ”.

“Barangsiapa makan suatu makanan lalu ia membaca, ‘Alhamdulillâhilladzî ath’amanî hâdzâ wa razaqanîhi min ghairi haulin minnî wa lâ quwwatin (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, tanpa adanya daya dan kekuatan dariku)’; niscaya akan diampuni dosanya yang telah lampau dan yang akan datang.” (H.R. Abu Dawud dan sanad-nya dinilai sahih oleh al-Hakim). Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini hasan [Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl (VII/48 no. 1989)].

Catatan:

Masih ada redaksi hamdalah sesudah makan lainnya yang berlandaskan hadits sahih. Banyak di antaranya telah disebutkan oleh Imam an-Nawawy dalam kitabnya al-Adzkâr [(hal. 339-342)]. Adapun redaksi yang masyhur di kalangan banyak kaum muslimin yang berbunyi: “Alhamdulillahilladzî ath’amanâ wa saqanâ wa ja’alanâ minal muslimîn”, redaksi ini disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan yang lainnya. Hanya saja hadits ini dinilai lemah oleh Imam adz-Dzahaby [Dalam kitabnya; Mîzân al-I’tidâl (I/228) beliau berkomentar bahwa hadits ini “gharîb munkar” (ganjil dan mungkar)] dan Syaikh al-Albany [Lihat catatan kaki beliau atas kitab Misykât al-Mashâbîh karya at-Tibrîzy (II/1216 no. 4204)]; dikarenakan sanad-nya bermasalah [Lihat: Nail al-Authâr bi Takhrîj Ahâdîts Kitâb al-Adzkâr karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/527)].

2. Ketika shalat, terutama saat i’tidal (berdiri setelah ruku’ sebelum sujud).

Banyak redaksi hamdalah untuk momen ini, di antaranya:

a. Rabbanâ wa lakal hamdu hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîhi.

Dalilnya: apa yang diceritakan Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqy,

كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ: “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ”. قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ”. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: “مَنْ الْمُتَكَلِّمُ؟”، قَالَ: “أَنَا”، قَالَ: “رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ”.

“Suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengangkat kepalanya setelah ruku’, beliau membaca, “Sami’allôhu liman hamidah (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya)”.

Seorang makmum menimpali, “Rabbanâ wa lakal hamdu hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîhi (Rabb kami, milik-Mu lah segala pujian yang banyak, baik dan diberkahi)”.

Selesai shalat beliau bersabda, “Siapakah yang mengucapkan bacaan tadi?”.

Laki-laki tadi menjawab, “Saya”.

Beliau menjelaskan, “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba siapakah yang menulisnya pertama kali”. (H.r. Bukhari).

b. Allôhumma rabbanâ lakal hamdu mil’us samâwâti wa mil’ul ardhi wa mil’u mâ syi’ta min syai’in ba’du.

Dalilnya: apa yang dikisahkan Ibnu Abi Aufa,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ ظَهْرَهُ مِنْ الرُّكُوعِ قَالَ: “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ”.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat punggungnya ketika bangkit dari ruku’, beliau membaca: “Sami’allôhu liman hamidah. Allôhumma rabbanâ lakal hamdu mil’us samâwâti wa mil’ul ardhi wa mil’u mâ syi’ta min syai’in ba’du (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya. Ya Allah, Rabb kami, punya-Mu lah segala pujian seluas langit dan bumi serta seluas apapun selainnya sesuai kehendak-Mu)”. (H.r. Muslim).

Dan masih ada redaksi lain yang berlandaskan hadits sahih[1].

3. Setelah shalat.

Jumlahnya boleh 33 kali, juga boleh 10 kali[2].

Dalilnya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ: “لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ”؛ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ”.

“Barang siapa bertasbih kepada Allah setiap selesai shalat 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali, dan ini berjumlah 99 kali, lalu menutupnya di hitungan ke seratus dengan: “Lâ ilâha Ilallôhu wahdahu lâ syarîka lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alâ kulli syai’in qadîr”; niscaya dosa-dosanya akan diampuni walaupun sebanyak buih di lautan”. (H.r. Muslim).

Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ. يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا؛ فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ. وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ؛ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَان. فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُهَا بِيَدِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ؟ قَالَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ يَعْنِي الشَّيْطَانَ فِي مَنَامِهِ فَيُنَوِّمُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُولَهُ وَيَأْتِيهِ فِي صَلَاتِهِ فَيُذَكِّرُهُ حَاجَةً قَبْلَ أَنْ يَقُولَهَا”.

“Ada dua amalan, yang jika senantiasa dijaga seorang muslim; niscaya ia akan masuk surga. Keduanya mudah, namun yang mengamalkannya sedikit. (Amalan pertama): bertasbih setiap selesai shalat 10 kali, bertahmid 10 kali dan bertakbir 10 kali, semuanya berjumlah 150 di lisan, namun tertulis 1500 pahala di timbangan. (Amalan kedua): Bertakbir sebelum tidur 34 kali, bertahmid 33 kali serta bertasbih 33 kali; semuanya berjumlah 100 di lisan, namun tertulis 1000 pahala di timbangan.

Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitungnya dengan tangannya.

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kedua amalan tersebut ringan, mengapa yang mengamalkannya sedikit?”.

“Sebab setan mendatangi salah satu kalian sebelum tidur dan membuatnya mengantuk sebelum membaca dzikir tersebut. Juga mendatanginya saat shalat lalu mengingatkannya dengan (berbagai) urusan sebelum ia sempat untuk mengucapkan dzikir tersebut”.

Hadits riwayat Abu Dawud dan isnad-nya dinilai sahih oleh Imam an-Nawawy[3]. Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih[4].

4. Di awal khutbah, pelajaran, serta di awal buku dan yang semisal.

Dalilnya: apa yang disebutkan Abdullah bin Mas’ud:

“عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ”.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbah al-hajah (pembuka urusan) dengan mengucapkan: “Alhamdulillâh, nasta’înuhu wa nastaghfiruh, wa na’ûdzu bihi min syurûri anfusinâ, man yahdillâhu fa lâ mudhilla lah, wa man yudhlil fa lâ hâdiya lah, wa asyhadu al lâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosûluh (Segala puji bagi Allah. Kami mohon pertolongan, ampunan dan perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kami. Barang siapa dikaruniai hidayah dari Allah, niscaya tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan-Nya niscaya tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)…”. (H.r. Abu Dawud).[5]

5. Saat mendapat kenikmatan atau terhindar marabahaya, baik itu berkenaan dengan diri sendiri maupun orang lain.

Di antara dalilnya: hadits Abu Hurairah:

“أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ بِإِيلِيَاءَ بِقَدَحَيْنِ مِنْ خَمْرٍ وَلَبَنٍ فَنَظَرَ إِلَيْهِمَا فَأَخَذَ اللَّبَنَ قَالَ جِبْرِيلُ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ لِلْفِطْرَةِ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ”.

“Saat malam kejadian isra’ di Elia (Palestina) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan dengan dua buah mangkok; pertama berisi khamr dan yang kedua berisi susu. Beliau pun melihat keduanya, lalu mengambil mangkok yang berisi susu.

Malaikat Jibril pun berucap, “Segala puji bagi Allah Yang telah memberimu petunjuk kepada fitrah. Andaikan engkau mengambil khamr; niscaya umatmu akan sesat”. (H.r. Bukhari dan Muslim).

6. Ketika memakai pakaian baru.

Dalilnya: hadits Abu Sa’id al-Khudry:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ إِمَّا قَمِيصًا أَوْ عِمَامَةً، ثُمَّ يَقُولُ: “اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ”.

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian baru, beliau menyebutkannya, entah itu baju atau sorban, lalu membaca, “Allôhumma lakal hamdu Anta kasautanîhi, as’aluka min khoirihi wa khoiri mâ shuni’a lah, wa a’ûdzubika min syarrihi wa syarri mâ shuni’a lah (Ya Allah, kepunyaan-Mu lah segala pujian. Engkau yang telah memberiku pakaian ini. Aku memohon pada-Mu kebaikan pakaian ini dan tujuan pembuatannya, serta aku memohon perlindungan pada-Mu dari keburukannya dan keburukan tujuan pembuatannya)”. (H.r. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Imam an-Nawawy[6]).

7. Saat bersin.

Bersin merupakan salah satu nikmat besar Allah atas para hamba-Nya, dengan bersin seorang hamba bisa mengeluarkan sesuatu dalam hidung yang jika dibiarkan bisa berbahaya bagi tubuh. Karena itulah, ketika bersin, seorang hamba diperintahkan untuk memuji Allah dengan mengucapkan hamdalah.

Dalilnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ”، وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ: “يَرْحَمُكَ اللَّهُ” فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ: “يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ”.

“Jika salah satu kalian bersin ucapkanlah, “Alhamdulillah”. Temannya hendaklah mengatakan, “Yarhamukallôh (Semoga Allah merahmatimu)”. Jika temannya membalas demikian, hendaknya ia mengucapkan “Yahdîkumullôhu wa yushlihu bâlakum (Semoga Allah mengarunikan padamu petunjuk dan memperbaiki hatimu)”. (H.r. Bukhari dari Abu Hurairah).

8. Ketika melihat orang lain mendapatkan cobaan baik dalam hal duniawi maupun agama.

Cobaan duniawi contohnya: cacat, buta, tuli dan yang semisal. Cobaan agama contohnya: tenggelam dalam kemaksiatan, bid’ah dan yang semisal.

Dalilnya: hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا”؛ لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلَاءُ”.

“Barang siapa melihat orang yang mendapatkan cobaan lalu ia mengucapkan, “Alhamdulillâhilladzî ‘âfânî mimmabtalâka bihi, wa faddhalanî ‘alâ katsîrin mimman kholaqo tafdhîlâ (Segala puji bagi Allah yang telah menghindarkanku dari cobaan yang menimpamu, serta memuliakanku dibanding banyak makhluk-Nya)”; niscaya ia tidak akan diuji dengan cobaan tersebut”. (H.r. Tirmidzy dan dinyatakan hasan oleh beliau dan Syaikh al-Albany).

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Artikel www.Tunasilmu.com


[1] Lihat antara lain dalam: Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam min at-Takbîr ila at-Taslîm Ka’annaka Tarâha karya Syaikh al-Albany (hal. 136-138).

[2] Lihat: Al-Futûhât ar-Rabbâniyyah ‘alâ al-Adzkâr an-Nawawiyyah, karya Ibn ‘Allân (III/47-48).

[3] Sebagaimana dalam kitabnya; al-Adzkâr (hal. 112).

[4] Lihat: Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb (I/320 no. 603).

[5] Lihat takhrîj hadits ini dan berbagai pembahasan seputarnya dalam Khutbah al-Hâjah karya Syaikh al-Albany.

[6] Lihat: Al-Adzkâr (hal. 46).

Leave a Comment