Benarkah Nabi Sulaiman dan Nabi Musa Memakai Jimat? (01)

Alhamdulillâh wahdah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Barangkali pertanyaan di atas terasa begitu aneh, asing atau mungkin lucu di telinga sebagian besar pembaca, yang telah mendapatkan hidayah untuk mengenal akidah yang murni, serta terdidik di atas ajarannya. Namun, lain halnya jika yang membaca adalah orang-orang yang ketergantungan terhadap benda mati (baca: jimat) telah mendarah daging dalam dirinya. Sampai-sampai ketika ada seseorang yang mencoba meluruskan keyakinan paganismenya itu, dia akan amat tersentak dan kaget dengan adanya pemahaman ‘baru’, yang 180 derajat bertolak belakang dengan apa yang diyakininya selama ini.

Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bukan suatu hal yang aneh jika kita berhadapan dengan berbagai fenomena di atas. Seorang muslim yang cerdas dan memiliki semangat juang tinggi untuk menularkan al-haq yang telah ia nikmati, tentunya selalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai jenis manusia yang amat heterogen latar belakang pemikiran dan tingkat pendidikannya.

Sebagai agama yang menjadikan penghambaan kepada Allah tujuan utamanya, tentu saja Islam tidak membenarkan ketergantungan seorang hamba kepada selain Allah, apalagi kepada benda-benda mati semisal jimat. Namun, kenyataan berkata lain, masih ada di sana sini, oknum-oknum kurang bertanggung jawab yang berusaha mencari dalih untuk melegalkan praktik pemakaian jimat. Di antara syubhat yang mereka hembuskan guna melancarkan usaha tersebut: kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan cincinnya, juga kisah Nabi Musa ‘alaihissalâm dan tongkatnya, serta kesimpulan batil yang mereka tarik dari keduanya.

Menurut anggapan mereka, cincin Nabi Sulaiman dan tongkat Nabi Musa, adalah benda mati yang Allah isi dengan kekuatan, lalu kedua nabi tersebut memanfaatkannya. Hal itu bukanlah tindak perbuatan syirik. Sebab benda-benda mati tersebut hanyalah media perantara. Begitu pula halnya jimat, hanyalah sekadar media perantara saja, berupa benda mati yang telah Allah isi dengan kekuatan. Berdasarkan analogi ini, penggunaannya tidaklah dianggap sebagai bentuk tindak kesyirikan [Menjawab Kontroversi Seputar Jimat makalah tulisan Zahra Fahira, sebagaimana dalam Majalah Misteri, edisi 387 (hal. 61-62)].

Meskipun syubhat di atas sangat lemah, sungguh sangat disayangkan, tidak sedikit di antara kaum muslimin yang termakan oleh syubhat tersebut. Kenyataan ini menunjukkan betapa kejahilan masih sangat menggurita dalam diri mereka. Dan salah satu langkah nyata terbaik untuk mengatasi fenomena menyedihkan tersebut: mengerahkan daya upaya semaksimal mungkin, untuk menebarkan ilmu syar’i yang benar. Tulisan ini, diharapkan merupakan salah satu bentuk sumbangsih upaya tersebut.

Pembahasan kita kali ini terbagi menjadi dua poin:

Poin pertama: Studi kritis kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm dengan cincinnya.

Kisah aneh ini disebutkan dalam beberapa literatur tafsir, tatkala memasuki pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan fitnah (ujian) yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَداً ثُمَّ أَنَابَ

Artinya: “Sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan kami letakkan sebuah jasad di atas singgasananya. Kemudian dia bertaubat.” (Q.S. Shâd: 34).

Redaksi kisah tersebut cukup panjang, intinya: “Konon Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm menikahi seorang wanita yang sangat beliau cintai, namanya Jarâdah. Hanya saja ia menyembah berhala di rumah Nabi Sulaiman, tanpa sepengetahuan beliau.

Dikisahkan, bahwa kekuatan Nabi Sulaiman, baik yang berkenaan dengan kerajaan maupun kenabian beliau, terletak pada cincin yang ia pakai. Pada suatu hari ketika hendak memasuki kamar kecil, beliau menitipkan cincinnya kepada salah seorang istrinya; Amînah. Sebelum beliau menyelesaikan hajatnya, datanglah setan yang menyamar dalam bentuk Nabi Sulaiman dan mengambil cincin tersebut lalu menduduki singgasana Sulaiman. Sehingga Nabi Sulaiman kehilangan kekuatannya, dan berubah bentuk, kemudian terusir dari kerajaannya. Si iblis berkuasa dan ‘menggagahi’ para istri Nabi Sulaiman, sampaipun pada masa haidh mereka. Hingga akhirnya Nabi Sulaiman menemukan cincinnya kembali, dalam perut seekor ikan yang dia dapatkan dari seorang nelayan tempat beliau bekerja, dst.” [Lihat: kisah lengkapnya, dengan berbagai redaksi dan konteks yang beragam dalam: Tafsîr ath-Thabarî (XX/88-92), Tafsîr Ibn Abî Hâtim (X/3241-3243), Tafsîr al-Baghawî (VII/90-94), ad-Durr al-Mantsûr karya as-Suyûthî (XII/570-583) dan yang lainnya].

i. Komentar para ulama atas kisah tersebut:

Para pakar tafsir klasik dan kontemporer, serta selain mereka, memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.

Berikut statement mereka [dalam mengumpulkan berbagai statement mereka, kami amat terbantu dengan apa yang ditulis dalam buku Mausû’ah al-Isrâ’iliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kutub at-Tafsîr karya Muhammad Ahmad ‘Isa (II/760-769) dan Asbâb al-Khatha’ fî at-Tafsîr – Dirâsah Ta’shîliyyah karya Dr. Mahmud Muhammad Ya’qub (I/182-185)]:

  1. Ibnu Hazm (w. 456 H) menegaskan, “Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnad-nya sama sekali tidak sahih.” [Sebagaimana dinukil al-Qâsimî dalam Mahâsin at-Ta’wîl (XIV/5105)].
  2. Al-Qâdhî ‘Iyâdh (w. 544 H) berkata, “Tidak sahih.” [Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ (II/836)].
  3. Ibn al-Jauzî (w. 597 H) menyebutkan kisah di atas, “Tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya.” [Zâd al-Masîr (VII/133)].
  4. Al-Qurthubî (w. 671 H) mengomentari pendapat orang yang menafsirkan “ujian” dengan kisah di atas, “Pendapat ini dilemahkan (para ulama).” [Tafsîr al-Qurthubî (XVIII/22)].
  5. An-Nasafî (w. 710 H) menegaskan, “Ini termasuk kebatilan (yang dikarang) orang Yahudi.” [Tafsîr an-Nasafî (III/156)].
  6. Abu Hayyân (w. 745 H) bertutur, “Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi, serta kaum zindiq.” [Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/527)].
  7. Ibn Katsîr (w. 774 H) menerangkan, “Ini termasuk isrâîliyyât [Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), lihat pula al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341)], nampaknya ini termasuk kedustaan Bani Israil. Oleh karena itu, di dalamnya banyak terdapat hal-hal munkar.” [Ibid (VII/69)].
  8. Al-Îjî (w. 894 H) menjelaskan, “Ketahuilah, tidak ada satupun hadits sahih yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât.” [Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân (hal. 812)].
  9. Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ (w. 1270 H) berkata, “Allahuakbar! Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbas tidak kita terima.” [h al-Ma’ânî (XXIII/199)].

Dan masih banyak komentar lain yang senada [semisal komentar az-Zamakhsyarî (w. 538 H) dalam al-Kasysyâf (IV/90-91), ar-Râzi (w. 606 H) dalam Tafsîrnya (XXVI/207), as-Suyûthî (w. 911 H) dalam Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244), asy-Syinqîthî (w. 1393) dalam Adhwâ’ al-Bayân (IV/101 dan VII/37), Abu Syahbah dalam al-Isrâ’îliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kutub at-Tafsîr (hal. 272)], sengaja tidak kami nukil semua; khawatir berdampak pada terlalu panjangnya tulisan ini.

Adapun pernyataan sebagian ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr [Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (VII/69)], Ibnu Hajar al-‘Asqalânî [Lihat: Al-Kâfî asy-Syâf fî Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf (IV/90) sebagaimana dalam Mausû’ah al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalânî al-Hadîtsiyyah (IV/586)] dan as-Suyûthî [Lihat: Ad-Durr al-Mantsûr (XII/571). Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341)]; hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab, andaikan sanad tersebut memang sahih sampai ke Ibnu Abbâs, beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam [Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka’ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573)]. Jadi, kisah tersebut tidak diambil Ibnu Abbas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya pada kesempatan lain, Ibnu Katsîr dan as-Suyûthî menegaskan, bahwa kisah tersebut termasuk khurafat isrâîliyyât [Lihat: Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244)].

Bedakan antara keabsahan penisbatan kisah tersebut kepada seseorang dengan kebatilan kisah itu sendiri. Perbedaan ini bisa kita analogikan dengan pemikiran-pemikiran sesat yang bermunculan di zaman ini. Penisbatan pemikiran tersebut kepada para kreatornya memang absah, tapi pemikiran itu sendiri sesat dan batil [Lihat: al-Isrâ’îliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kitub at-Tafsîr (hal. 96 dan 272)].

ii. Kebatilan-kebatilan yang terkandung dalam kisah tersebut:

Selain kisah tersebut diragukan keabsahan sanad-nya, alur ceritanya juga mengandung kebatilan-kebatilan yang berkonsekuensi menodai kesucian kenabian dan keyakinan-keyakinan batil lainnya:

  1. Penyamaran setan dalam bentuk nabiyullah.
  2. Setan berhasil ‘menggagahi’ para istri nabiyullah, bahkan di saat mereka haidh!
  3. Kekuatan dan kenabian Sulaiman ‘alaihissalâm tergantung pada cincin yang ia pakai dan bersumber darinya. Akan abadi jika cincin itu ada dan akan musnah jika cincin tersebut hilang.
  4. Perubahan bentuk Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm.
  5. Adanya penyembahan terhadap berhala di dalam rumah nabiyullah [Lihat: Asbâb al-Khatha’ fî at-Tafsîr (I/182-183) dan Tafsîr ar-Râzî (XXVI/207)].

iii. Tafsir yang benar untuk ayat 34 dari surat Shâd di atas:

Jika kita telah mengetahui bahwa kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm dengan cincinnya batil, maka kisah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tafsir dari ayat Alquran. Namun timbul pertanyaan, “Tafsir seperti apakah yang benar dari ayat tersebut?”.

Para ulama pakar [Lihat: Tafsîr ar-Râzî (XXVI/208), Tafsîr an-Nasafî (III/155-156), al-Bahr al-Muhîth (VII/527-528), h al-Ma’ânî (XXIII/198) dan Adhwâ’ al-Bayân (IV/100-101)] menyebutkan, tafsir yang paling pas untuk “ujian” yang disebut ayat tersebut di atas, adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: قَالَ سُلَيْمَانُ: لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى تِسْعِينَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَطَافَ عَلَيْهِنَّ جَمِيعًا فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَايْمُ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Pada suatu hari) Nabi Sulaiman berkata, ‘Malam ini aku akan berhubungan badan dengan sembilan puluh istriku. Masing-masing (pasti) akan melahirkan lelaki penunggang kuda yang kelak berjihad di jalan Allah.’ Malaikat berkata padanya, ‘Katakan insya Allah!’ Tetapi, Nabi Sulaiman tidak mengucapkan insya Allah. Lalu, beliau berhubungan badan dengan seluruh istrinya tersebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang mengandung, kecuali hanya satu. Itupun tatkala bersalin, melahirkan bayi hanya setengah badan.

Demi Allah, andaikan Sulaiman mengucapkan insya Allah; niscaya (akan lahir sembilan puluh anak laki-laki) seluruhnya menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah.” [H.R. Bukhari (XI/524 no. 6639 –al-Fath) dan Muslim (III/1276 no. 1654)].

Kesimpulannya: kisah yang menyebutkan bahwa ‘kesaktian’ Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm bersumber dari cincin yang ia pakai, tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sanad maupun alur ceritanya. Sehingga otomatis, tidak bisa dijadikan dalih untuk melegalisasi praktik pemakaian jimat.

Bersambung insya Allah

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. hafizhahullahu ta’ala
Artikel www.Tunasilmu.com

Leave a Comment