Hidup Suri

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

 

Istilah yang sering kita dengar adalah mati suri. Itu merupakan sebuah istilah untuk menjuluki kondisi di mana sesorang tampaknya mati, tetapi sebenarnya masih hidup. Adapun judul di atas; hidup suri adalah kebalikan mati suri. Itu adalah istilah yang kami buat sendiri untuk menjuluki orang yang tampaknya hidup, padahal sebenarnya ia mati. Siapakah dia? Dia adalah orang yang enggan berdzikir!

Perlu diketahui, bahwa selain memotivasi para hamba-Nya untuk banyak berdzikir, Allah ta’ala juga mengingatkan mereka agar tidak lalai dari berdzikir. Bahkan terkadang Allah menggabungkan antara keduanya. Antara lain dalam firman-Nya,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ.

Artinya: “Ingatlah Rabbmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang. Serta janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. QS. Al-A’raf (7): 205.

Kebutuhan seorang hamba kepada dzikir melebihi kebutuhan seekor ikan terhadap air, sebab dzikir merupakan sumber kehidupan hati. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam memberikan sebuah perumpamaan yang sangat buruk bagi manusia yang enggan berdzikir. Kata beliau,

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ“.

“Perumpamaan orang yang berdzikir (mengingat) Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir, seperti orang yang hidup dan orang yang mati”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ary radhiyallahu ’anhu.

Berdasarkan keterangan di atas, hati para manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga jenis:

Pertama: Hati yang hidup dan sehat. Adalah hati yang senantiasa dipenuhi dengan dzikrullah. Hati yang mengikhlaskan seluruh amalannya hanya untuk Allah ta’ala. Ia mencintai, membenci, memberi dan menahan pemberian karena Allah semata. Dalam bertindak dan berlaku, selalu yang dijadikan sebagai patokan adalah keridaan Allah dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam bukan yang lain.

Kedua: Hati yang mati. Adalah hati yang kosong dari dzikrullah. Hati yang tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah pada-Nya, tidak menjalankan perintah-Nya maupun menjauhi larangan-Nya. Ia mencintai, membenci, memberi dan menahan pemberian semata karena menuruti hawa nafsunya.

Ketiga: Hati yang sakit. Adalah hati yang masih hidup namun menderita penyakit. Tergantung unsur mana yang lebih dominan. Terkadang penyakitnya berkurang karena porsi dzikirnya ia tingkatkan. Namun seringkali, penyakitnya semakin parah, karena terlalu lama tidak berdzikir, sehingga hampir-hampir ia mati.

Hati pertama adalah hati yang subur dan lembut. Hati kedua adalah hati yang tandus dan mati. Hati ketiga adalah hati yang sakit, kadangkala mendekati kesembuhan dan tidak jarang pula mendekati kematian. Nomor berapakah hati kita?

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Rabi’uts Tsani 1433 / 12 Maret 2012

* )Kandungan makalah ini disarikan dari kitab “Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr” karya Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr al-‘Abbad (I/52-59).

Leave a Comment