Serial Fiqih Pendidikan Anak No 132: BELAJAR MEMAHAMI MAKNA BELAJAR

Banyak orang tua mengeluhkan anaknya yang malas belajar.

Mengapa bisa terjadi kondisi demikian? Padahal anak itu aslinya suka belajar.

Bisa jadi problematika ini bersumber kepada: pemahaman keliru orang tua tentang makna belajar.

Bukan Hanya Prestasi Akademis

Belajar adalah proses usaha untuk memperoleh ilmu. Berarti sangat luas cakupannya. Meliputi cara belajar yang bermacam-macam dan beragam ilmu yang dipelajari.

Tidak sedikit orang tua yang mempersempit makna belajar. Menurut mereka belajar itu terbatas pada segala hal yang berbau akademis saja. Sehingga pencapaiannya dinilai hanya dari angka di rapor.

Bagi mereka, anak dinyatakan berhasil bila ulangan di sekolah mendapat nilai 9 atau 10. Tanpa peduli dengan cara apa dia mencapainya. Padahal bisa saja anak cuma mendapat nilai 6, tapi itu hasil usaha sendiri. Dia tahu beberapa temannya mencontek pada saat ulangan. Sebenarnya dia juga bisa melakukan hal serupa. Tetapi tidak mau. Sebab mencontek adalah perbuatan salah. Dia ingat cerita-cerita Bapak Guru tentang kejujuran, dan betapa Allah Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya.

Sebagian orang tua belum bisa memahami bahwa dalam bermain pun ada proses belajar. Saat anak bermain bersama teman-teamnnya, dia belajar memimpin dan dipimpin. Belajar bahwa sikap mau menang sendiri membuat teman-teman menjauh. Belajar tentang konsekwensi buruk merebut mainan, mengejek dan memukul teman.

Berbagai pengalaman berharga ini akan sangat bermanfaat untuk kehidupan masa depannya. Kelak dia akan mengembangkan kemampuan menghargai hak-hak orang lain. Merasakan empati terhadap sesama. Bekerja sama dengan teman-teman dan menyelesaikan konflik secara damai.

Jadi, saat anak bermain pun, sebenarnya ia juga belajar. Belajar seni berinteraksi dengan orang lain.

Belajar Perlu Keseriusan

Namun hendaknya tidak dipahami dari keterangan di atas, bahwa orang tua membiarkan anaknya selalu bermain. Bahkan saat belajar pun anak dibiarkan bermain, sehingga tidak konsentrasi.

Belajar itu identik dengan keseriusan dan kesungguhan. Sedangkan bermain identik dengan bersenang-senang dan kesantaian.

Sejak dini anak perlu dipahamkan bahwa untuk mendapatkan ilmu, terlebih ilmu agama, itu membutuhkan kesungguhan dan ketekunan. Allah ta’ala berfirman,

يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا

Artinya: “Wahai Yahya! Pelajarilah Kitab itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak”. QS. Maryam (19): 12.

Imam Ibn Katsir rahimahullah menjelaskan, “Ayat “Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak”, maksudnya adalah: pemahaman, ilmu, semangat, tekad, menyambut kebaikan, serius menjalaninya dan bersungguh-sungguh di dalamnya. Sejak usia belia”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa belajar agama itu memerlukan kesungguhan, keseriusan dan tekad yang kuat. Walaupun anak masih kecil. Caranya adalah dengan menanamkan pemahaman ini kepada anak dan pembiasaan secara kontinyu.

Ada Waktunya Anak Bermain

Penjelasan di atas tidak boleh dipahami bahwa anak harus dikekang dan dilarang bermain. Justru malah bermain itu bisa dijadikan sebagai sarana belajar. Namun anak perlu tahu kapan dia harus belajar dan kapan dia boleh bermain. Juga perlu dipahamkan kepada dia bahwa semakin bertambah usia, porsi belajar seharusnya semakin tinggi.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Sya’ban 1440 / 29 April 2019

Leave a Comment