Serial Fiqih Pendidikan Anak No 147: ORANG TUA KOQ OTORITER?

Tak ada di antara kita yang mau dijuluki sebagai orang tua otoriter. Sebab itu identik dengan kesewenang-wenangan. Namun disadari atau tidak, bisa jadi pola kita dalam mendidik anak, ternyata mencerminkan sikap otoriter. Misalnya:

  • Menganggap anak-anak selalumasih kecil terus. Tidak tahu apa-apa. Sehingga tidak perlu dilibatkan dalam segala aktifitas. Lalu menganggap bahwa pendapat orang tua pasti benar dan terbaik. Karena didasari kematangan, pengalaman dan pengetahuan.
  • Selalu ingin solusi instan. Sehingga tidak memberi kesempatan pada anak untuk menjalani proses.
  • Percaya bahwa orang tua yang berhasil adalah yang ditakuti anak-anaknya.
  • Merasa memiliki kekuasaan untuk berbuat, berbicara dan memutuskan apa pun bagi anak. Dengan dalih “demi kebaikan anak”.

Ketahuilah bahwa status kita sebagai orang tua tidak otomatis membuat kita berkuasa penuh atas diri anak dan kehidupannya. Begitu pula status anak, tidak menjadikannya objek yang tidak berdaya. Anak juga memiliki pemikiran, kehendak dan kecenderungan sendiri. Komunikasi orang tua dengan anak akan berjalan baik bila kedua pihak sama-sama terlibat dan dihargai.

Sekalipun anak-anak masih kecil, mereka memiliki potensi untuk berkembang dalam segala bidang. Baik fisik maupun mentalnya. Sehingga kematangan, pengalaman dan pengetahuan orangtua seyogyanya digunakan secara bijak untuk membimbing anak, bukan mendiktenya. Dengan demikian, orang tua bisa membantu putra putrinya tumbuh optimal dan tidak menghambat potensi mereka.

Sejak dini, sebaiknya anak-anak dilibatkan dalam aktifitas kehidupan di rumah. Diberi kesempatan memilih, berbicara, berpendapat, serta mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Orang tua bijak berusaha selalu memperbarui cara melibatkan anak, sesuai dengan tahapan perkembangannya.

Contoh: secara sederhana anak-anak batita dibolehkan memilih satu dari dua baju terbaik untuk dikenakan pada acara resmi. Anak-anak balita dipersilahkan memilih buku dari beberapa buku yang Anda rekomendasikan. Anak-anak SD mungkin sudah bisa diberi kebebasan memilih, apakah uang tabungannya hendak digunakan sebagian atau disimpan terus. Jika dari awal anak mendapatkan hak memilih dan menerima konsekuensi dari pilihannya, semakin besar insyaAllah dia akan semakin mampu menangani pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Rasa percaya diri dan keterampilan hidup akan tumbuh sejalan dengan setiap pengalaman yang mendukung. Sebaliknya, orang tua yang tak pernah melibatkan anak, hal ini bisa ‘membunuh’ potensinya dan menjadikannya bergantung selamanya kepada orang tua.

Solusi instan terhadap masalah-masalah anak yang ditetapkan orang tua, bisa ‘merampok’ kesempatan anak untuk mengalami dan merasakan hidup sebenarnya. Tanpa proses trial and error (coba dan gagal), anak sulit memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah yang menimpanya atau masalah yang dibuatnya sendiri. Lebih ringan melihat anak melakukan kesalahan dalam mengatur uang sakunya, ketimbang kelak dia melakukan kesalahan dengan uang negara. Hanya karena dia tidak pernah ‘berproses’ sejak kecil.

Mari kita perhatikan contoh berikut ini:

Ari (7 tahun) meminjam buku cerita di perpustakaan. Ternyata, buku itu hilang saat harus dikembalikan ke perpustakaan. Ari marah-marah, lalu menuduh adik dan kakaknya menyembunyikan buku itu.

Orang tua otoriter akan berkomentar, “Jangan menuduh sembarangan! Paling kamu sendiri yang lalai menghilangkannya!”. (Solusi instan guna menghentikan perdebatan Ari dengan saudara-saudaranya). Atau, “Sudahlah, tidak perlu ribut. Nanti Bunda belikan buku penggantinya”. (Solusi instan untuk masalah Ari).

Orang tua salih bersikap bijak. Mengajukan pertanyaan yang melibatkan Ari, agar berpikir, berempati dan mencari solusi.

“Kapan terakhir Ari memegang buku itu?” atau “Di mana kamu menyimpannya terakhir kali?”.

“Kalau kamu dituduh menyembunyikan barang yang bukan milikmu, bagaimana perasaanmu?”.

“Bagaimana caranya agar kamu mendapat bantuan dari Adik dan Kakak untuk menemukan buku itu?”.

“Jika buku itu benar-benar hilang, apa rencanamu untuk mendapatkan penggantinya?”.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 14 Rajab 1441 / 9 Maret 2020

Leave a Comment