Serial Fiqih Pendidikan Anak No 173: MENANAMKAN KEJUJURAN PADA ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 173

MENANAMKAN KEJUJURAN PADA ANAK

Kejujuran adalah sebuah sifat positif yang akan menyelamatkan orang yang memilikinya. Baik di dunia, maupun di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Bersikap jujurlah, karena kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, sedangkan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seorang yang bersikap jujur dan selalu berusaha jujur; pasti akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah sikap dusta, karena kedustaan itu akan membawa pada kekejian, sedangkan kekejian akan mengantarkan kepada neraka. Orang yang berbuat dusta dan selalu berdusta pasti akan dicap di sisi Allah sebagai pendusta”. HR. Muslim.

Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan pada orang tua agar menanamkan kejujuran ini dalam diri putra-putrinya sejak dini.

Teladan Kejujuran

Penanaman itu diawali dengan teladan kejujuran dari sang orang tua. Sehingga tidak dibenarkan menipu atau berbohong kepada anak, dengan cara atau alasan apapun. Beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“مَنْ قَالَ لِصَبِيٍّ: تَعَالَ هَاكَ، ثُمَّ لَمْ يُعْطِهِ فَهِيَ كَذْبَةٌ”

“Barangsiapa berkata kepada anak kecil, “Kemarilah! Kuberimu sesuatu”. Tapi ternyata ia tidak memberi apa-apa; maka perbuatan tersebut dianggap sebuah kedustaan”. HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy.

Mengembangkan Modal dari Allah

Manusia terlahir dalam keadaan fitrah mencintai kebaikan. Makanya pikiran anak-anak itu masih polos. Reaksi mereka sangat spontan, lugu dan jujur. Bahkan bila anak diajari untuk berbohong pun, ternyata ia akan kesulitan untuk berbohong. Misalkan saat ia dipesani oleh bapaknya yang baru pulang kerja dan ingin segera istirahat tanpa diganggu oleh tamu. Sebelum masuk ke kamar tidur, si bapak berpesan, “Nak, kalau ada tamu, bilang bahwa bapak sedang keluar rumah ya!”. Ternyata benar ada tamu. Si anak dengan lugunya berkata, “Maaf pak, tadi sebelum ayah masuk kamar beliau berpesan, jika ada tamu supaya memberitahu bahwa ayah sedang keluar rumah”. (!)

Maka seharusnya modal yang dikaruniakan oleh Allah ini, dijaga dengan baik oleh orang tua, bahkan dikembangkan. Bukan malah dirusak dan disia-siakan.

Salah satu caranya adalah dengan mengapresiasi kejujuran anak. Contohnya: ketika anak kelas satu SD dilatih untuk berpuasa. Namun karena ia terlalu aktif di sekolahan, banyak bermain dan berlari-lari, akibatnya puasanya batal. Ia membeli minuman di warung dekat sekolahan. Saat pulang ia ditanya oleh ibunya, “Bagaimana nak puasanya tadi? Batal ndak?”. Dengan takut-takut ia menjawab, “Emmm, maaf tadi batal Bu. Soalnya tadi aku kehausan banget”.

Seharusnya orang tua mengapresiasi kejujuran si anak. Bukan malah memarahinya. Sebab itu membuat ia kapok di kemudian hari untuk kembali jujur. Lalu cenderung memilih berbohong supaya tidak dimarahi orang tuanya. Perlu ditekankan di sini, bahwa yang diapresiasi dari anak adalah kejujurannya. Bukan pembatalan puasanya.

Bahkan saat anak jujur mengatakan apa adanya, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa mungkin ia memahami salah satu hikmah puasa, yang mengajarkan kejujuran. Paling tidak jujur kepada diri sendiri. Ketika sedang berpuasa, meskipun di rumah tidak ada siapa-siapa, di siang hari tidak berani berbuka. Walaupun orang lain tidak ada yang melihat. Itulah kejujuran yang seharusnya mewarnai seluruh aktivitas keseharian kita.

Meski puasa anak batal puasa, tapi ia berkata jujur. Itu lebih baik daripada sudah puasanya batal, masih ketambahan berbohong pula!

Setelah kita mengapresiasi kejujuran anak, barulah kita mengarahkan dia agar di keesokan hari tidak terlalu banyak berlari-lari. Supaya tidak kehausan. Lalu bisa menyempurnakan puasanya.

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Rabi’uts Tsani 1444 / 14 Nopember 2022