Serial Fiqih Pendidikan Anak No 41: MENGAPA ANAK BERBOHONG? Bagian 1

Alangkah baiknya kita mengetahui faktor-faktor yang mendorong anak berbohong dan bagaimana cara mengatasinya. Sehingga kita bisa dengan bahagia berkata, “Anakku tak suka bohong”.

Di antara faktor pendorong anak berbohong:

  1. Tidak mengetahui hukum berbohong dan akibatnya

Anak-anak memang tidak dilahirkan dengan kode moral. Moralitas adalah sesuatu yang dipelajari oleh seorang anak dalam tumbuh kembangnya secara bertahap dari tahun ke tahun. Dan perilaku berbohong adalah salah satu dari tahapan tersebut.

Dalam tumbuh kembangnya, anak-anak belajar tentang aturan-aturan sosial. Mereka belajar bahwa dalam kehidupan ini ada yang dinamakan khayalan, kebohongan dan kenyataan. Dan umumnya, perilaku berbohong ini muncul dalam diri anak ketika ia mulai bisa bicara.

Rentang usia 4 sampai 9 tahun, anak-anak masih banyak hidup dengan khayalan-khayalan mereka. Mereka belum bisa membedakan yang mana khayalan dan mana kenyataan. Mereka sering beranggapan bahwa binatang bisa bicara layaknya manusia, mereka mengira bahwa hantu dan monster itu benar-benar ada, mereka yakin bahwa kartun-kartun animasi itu benar-benar hidup dan menjadi teman mereka. Dan sering kali mereka menempatkan diri mereka menjadi bagian dari khayalan tersebut.

Biasanya setelah usia 9 tahun, anak-anak mulai memahami aturan “tidak boleh berbohong”. Mereka mulai memahami bahwa sesuatu yang bukan sebenarnya itu berarti berbohong. Namun mereka masih memilah dan memilih, atau mempertimbangkan kapan mereka bisa berbohong atau tidak. Dalam artian, mereka belum benar-benar faham bahwa berbohong itu tercela. Karena ada kebutuhan lain yang lebih penting bagi mereka, yaitu kebutuhan untuk diterima dengan baik oleh suatu kelompok sosial tertentu.

Solusi untuk mengatasi hal ini, jelaskan kepadanya makna, hukum dan akibat berbohong di dunia dan akhirat sejak dini. Lalu awasi anak dan berikan dukungan ketika ia berbicara jujur, serta peringatkan segera dengan lembut jika ia berbohong.

  1. Sebagai kebiasaan yang diperoleh

Ini sering terjadi pada anak yang hidup di tengah keluarga yang suka berbohong, baik ayah, ibu ataupun saudara-saudaranya. Sehingga anak belajar bohong sejak usia dini. Akibatnya, kebohongan menjadi suatu yang lumrah dan tidak tercela dalam keluarga tersebut. sebab, masing-masing pernah membohongi dan dibohongi yang lain.

Contoh kecil, saat seorang ibu ingin mengalihkan perhatian anakknya atau menghentikan tangis anaknya, ibu itu berkata, “Eh, lihat itu ada cicak!” atau “Eh, lihat ada pesawat terbang!”. Padahal sesungguhnya tidak ada cicak atau pesawat di sana.

Contoh lagi, saat ada tamu atau telpon, sedangkan ibu atau ayah sedang menghindari orang yang bertamu atau telpon tersebut, ibu akan mengatakan, “Bilang saja ibu nggak ada di rumah…”. Padahal ibu jelas-jelas ada di rumah.

Atau, saat hendak mengajarkan anak berpisah dari orang tua saat di sekolah, ibu berjanji pada anaknya yang belum mau ditinggal untuk menunggu di luar kelas. Tapi, ternyata setelah anak masuk, sang ibu pergi untuk pulang hingga datang kembali untuk menjemput sang anak.

Solusi untuk mengatasi hal ini, tak ada cara lain selain menghilangkan kebiasaan buruk tersebut dalam keluarga. Dengan melatih seluruh anggota keluarga berperilaku jujur.

Bersambung…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 17 Muharram 1436 / 10 Nopember 2014

Leave a Comment